Paleolithikum (Zaman Batu Tua)

zaman batu adalah suatu periode ketika peralatan manusia secara dominan terbuat dari batu walaupun ada pula alat-alat penunjang hidup manusia yang terbuat dari kayu ataupun bambu. Namun alat-alat yang terbuat dari kayu atau tulang tersebut tidak meninggalkan bekas sama sekali. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan tersebut tidak tahan lama. Dalam zaman ini alat-alat yang dihasilkan masih sangat kasar (sederhana) karena hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup saja. Zaman batu tua diperkirakan berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu, yaitu selama masa pleistosen (diluvium). Pada zaman paleolithikum ini, alat-alat yang mereka hasilkan masih sangat kasar.

Paleolitikum atau zaman batu tua disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soloensis. Fosil-fosil ini ditemukan di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Mereka memiliki kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Kebudayaan Pacitan pada tahun 1935, Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Cara kerjanya digenggam dengan tangan. Kapak ini dikerjaan dengan cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada zaman Paleolithikum dengan nama chopper. Alat ini ditemukan di Lapisan Trinil. Selain di Pacitan, alat-alat dari zaman Paleplithikum ini temukan di daerah Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan).


A. CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM
1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini ditemukan di aliran sungai Bengawan Solo.
2. Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat dikelompokan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.

a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)

b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan)

Zaman Paleolithikum ditandai dengan kebudayan manusia yang masih sangat sederhana. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum, yakni:
1. Hidup berpindah-pindah (Nomaden)
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan
B. ALAT-ALAT ZAMAN PALEOLITHIKUM
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:

1.       Kapak Genggam





Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut "chopper" (alat penetak/pemotong)
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.kapak genggam

2.       Kapak Perimbas
Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Manusia kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga ditemukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak ditemukan di daerah Pacitan, Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan Pacitan.
3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
alat tulang rusa
Salah satu alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang. Alat-alat dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.



4. Flakes
flakesFlakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat digunakan untuk mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama seperti alat-alat dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan. 
Zaman Batu Madya/Tengah (Mesolithikum)
Setelah pleistosen berganti dengan holosen, kebudayaan paleolithikum tidak begitu saja lenyap melainkan mengalami perkembangan selanjutnya. Di Indonesia, kebudayaan paleolithikum itu mendapat pengaruh baru dengan mengalirnya arus kebudayaan baru dari daratan Asia ygna membawa coraknya sendiri. Kebudayaan baru yang timbul itu dinamakan Mesolithikum. Kebudayaan mesolithikum ini banyak ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa , Kalimantan, Sulawesi dan di Flores. Dari peninggalan-peninggalan tersebut dapat diketahui bahwa jaman itu manusia masih hidup dari berburu dan menangkap ikan (Food-Gathering). Akan tetapi sebagian sudah mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga bisa dimungkinkan sudah bercocok tanam walau masih sangat sederhana dan secara kecil-kecilan. Bekas-bekas tempat tinggal mereka ditemukan di pinggir pantai (Kjokkenmoddinger) dan di dalam gua-gua (Abris Sous Roche). Disitulah pula banyak didapatkan bekas-bekas kebudayaannya.
Penelitian di bukit kerang menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat dikatakan sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa alat-alat pada zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat zaman paleolithikum, dimana cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari zaman paleolithikum.


A. Hasil Kebudayaan Mesolithikum

1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
  • Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9KjuaMA8YeNWKWm7hlfhtju8X7_9LY7pmD4RDTlcm6mpML0F2uMR9VIcPG9xMxYoyD5KGQsRm-zUmipjM_KD8fqdrJJCoJSmBBT3Mwp3DZWSVdW5WYZGcpMtPDzpmM9vQHke8isgc7NzC/s400/kjokkenmoddinger.jpg

Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
  • Pebble (kapak genggam Sumatera = Sumateralith)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5ljNwleJnloRl9pVyuunjaI7sAE7E-kHEyybhI135P4X_ox8TxLPNcJabV-k2oLU83OQ1GrarVCIQMzLknYt4FC9jlbJ4jOua-usYoOOvGavrrOiP75fx0j91RPlLGzP7AvNGuWuu3i-v/s400/pebble+kapak+genggam+sumatera.png

Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
  • Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
  • Pipisan
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-72pEmMcduMsWjt-lEG8F-mSHz46oIs2JtY4ks_Iw3C1De_FIcF6e9xc2xsg43unvo6KB-88usbkaMtJoVBLUU5uYtePIM-YE6y6ZMkEGAcwlnX9pYE7zOVGOYkWwQW1O-0bTYsKSIzg-/s400/batu-pipisan.gif

Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.

2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilKLMBHkribZ481laeaX0vG0bmr5qZ5oHq48GPKvngzzWf89i-KesfGcuAWhe9d-Ruao6CSF5k5sa4tbMvda3zdIrf3g2p9UNnR9ODRRrgZp1p5apdo0uNBfPB-_uZKtEnwFi4DAnGGZtF/s400/alat+dari+tulang+mesolithikum.gif

Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo - Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.

3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
  • Abris Sous Roche (Gua tempat tinggal)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOnDTIfO7-7_fmntYHre0hQstH66jb_lsIHpDr9pSfqS7gyN8UdVJShDdIopuiSeT2Y_VkZkiag6EaZtzLIZUpYfKH9XYJ9vE8Y36_uAmXlTElGjbwFS-K1GJzCqUC2LTz4GAb_wsHcxT-/s400/abris+sous+roche.jpg

Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Culture / kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.

B. Kebudayaan Bascon Hoabinh

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAHukQT8cFiPkiGI0QhqMMZAsFZ_PUiCauwK2SyrbyX_-wUl3OSH9U-ZAQO4HyPeh_YoFRK87mDczZlynd6oSVLbMWVzLjgifkoHGvRqF_QwY5BbpUi-DV8P3CENmDPl5dwm8A_nke5OhL/s400/bacson-hoabinh.jpg

Kebudayaan ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup. Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:

Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur.
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina.

C. Kebudayaan Toala
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqGkbwmvVjbfAkC9elOICfU6PqipkdUfuJ_vCP9g6gU1aRxhyphenhyphendNA9wpA584WNc8ACsMPoEzj24E5nCebiSVIDf8J-CPa0s9iobkmqa7MHvP_D_UT4YIj6dK3lUA2hkNpIPlblyNWVbpqlj/s400/lukisan+dinding+goa.jpg

Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenang-kenangan. Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung. Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.




















zaman batu muda(neolithicum)

ada dikatakan bahwa neolithikum itu adalah suatu revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan berubahnya peradaban penghidupan food-gathering menjadi foodproducing. Pada saat orang sudah mengenal bercocok tanam dan berternak. Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat primitif dan hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.

Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.

A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.

B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.


1. Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.


2. Kapak Persegi
kapak persegi
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.

Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.


3. Kapak Lonjong
kapak lonjong
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.

Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.


4. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.


5. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.


6. Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.


7. Tembikar (Periuk belanga)
tembikar
Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar. Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.

























zaman batu besar(megalithicum)
Megalitikum berasal dari kata “mega” yang berarti besar dan “litik” yang berarti batu jadi jika di artikan, megalitikum adalah zaman batu dimana manusia yang pada saat itu hidup dengan peralatan yang terbuat dari batu besar yang kasar. Dulu masyarakat di zaman ini memiliki kehidupan yang sangat primitif, mereka membuat alat perkakas yang terbuat dari batu besar yang kasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemudian zaman megalitikum berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman Perunggu, pada tradisi megalitik batu tegak itu melambangkan “laki-laki” sedangkan batu datar melambangkan “perempuan”
Zaman Megalitikum ini terdapat 2 periode yaitu zaman batu tua dan zaman batu muda, zaman batu tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolitikum (2500-1500 SM) yang menghasilkan peninggalan-peninggalan seperti kapak persegi, menhir, punden berundak, dan arca statis. Kemudian zaman batu muda mulai menyebar ke Indonesia pada zaman Perunggu (1000-100 SM) yang menghasilkan benda peninggalan seperti dolmen, waruga / sarkofagus dan arca dinamis dari sekian banyak peninggalan pada zaman batu tua dan zaman batu muda juga masih menggunakan batu kasar untuk membentuk benda-benda tersebut.

Dari berbagai benda-benda atau bangunan yang dihasilkan atau dibuat oleh manusia pada saat itu memiliki fungsi yang berbeda yaitu:

1. Menhir adalah sebuah batu besar yang berdiri tegak di tanah yang digunakan untuk menyembah arwah nenek moyang, selain itu menhir juga sering digunakan untuk upacara penghormatan kepada roh nenek moyang. Menhir tak hanya berdiri tunggal tetapi juga ada yang berkelompok, ada pula menhir yang dibuat bersamaan dengan bangunan lain seperti punden berundak-undak. Di Indonesia tempat yang terdapat peninggalan benda ini adalah di Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZdkVGZfx0N-TFwzQ1NY_bcJCkzbDAtV3hIU2cUXqvWXnUXMwZX0vPsnFVs5rFluaUZZFeguKX4g3ZmO3AXnL0t6h4J_1y_xNAzQSkH69_B_35cEjJ8fDQtPQk4e6F3-8m0i6nOne3T29P/s320/Sardinien_Goni_Pranu_Muttedu_menhir-reihe.jpg

1.      
1. Dolmen adalah meja yang terbuat dari batu yang berfungsi untuk meletakkan sesajen yang dipersembahkan untuk arwah nenek moyang. Dolmen juga berfungsi sebagai pelinggih dikalangan masyarakat megalitikum yang telah maju serta digunakan sebagai tempat duduk oleh kepala suku atau raja-raja dan juga digunakan sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan maupun upacara yang berhubungan dengan pemujaan arwah leluhur.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEih5LNDK6A395uHucz7Yrttmi_qzg9z78BBTv9vQDmzw8ER7W1oYJ2HM_AnIAx2YUaQjb-pZLFa9BluRVstReKoaqho7mcnQdHOpgU0QJ7T5TZwZ1qNYq5SHWtskzBFQcd2ofD72DLIMpGK/s320/kilclooney_dolmen_2.jpg

1.    
1. Sarkofagus adalah tempat untuk meletakkan jenazah yang terbuat dari batu dan pada umumnya di dalam sarkofagus tersebut terdapat mayat dan bekal kubur seperti periu, kapak persegi dan benda-benda dari perunggu serta besi. Sarkofagus banyak ditemukan di Bali, karena menurut masyarakat sekitar sarkofagus memiliki kekuatan gaib dan berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus dikenal oleh masyarakat Bali itu sejak zaman logam

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaOcwhFKxAbXYps44arIg4RU1WOBEk-BWjL5c-KjEM4_Z9X-IyO3TP00bgwgwjuZaomLBiOCGu60b75kpryUDFOmCBlC_GyH139AShHc6t5wGZjT1h3IPbY9CjC1R8wLjjcU6lWPBC1wBV/s320/sarkofag-situngkir2.jpg

1.      
1. Waruga adalah kubur batu orang Minahasa yang terbuat dari batu dan terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian atas berbentuk segitiga seperti atap rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang digunakan untuk meletakkan jenazah tersebut. Didalam peti pubur batu ini akan ditemukan berbagai macam jenis benda antara lain berupa tulang- tulang manusia, gigi manuisa, periuk tanah liat, benda- benda logam, pedang, tombak, manik- manik, gelang perunggu, piring dan lain- lain. Dari jumlah gigi yang pernah ditemukan didalam waruga, diduga peti kubur ini adalah merupakan wadah kubur untuk beberapa individu juga atau waruga bisa juga dijadikan kubur keluarga atau kubur komunal. Benda- benda periuk, perunggu, piring, manik- manik serta benda lain sengaja disertakan sebagai bekal kubur bagi orang yang akan meninggal.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidxt0whmqcT1br9187lPqIfN4t1LjD10HM4MKIUJU6cC2lfP3b3-QX_RjXBE7A8QQJyqrczT_gYHVl6ukeI1kbqfedzT54fqgvMtfp1mrl3Pxmiesc1JJwbWUvP_VBSf0lHceQHuSTZhXI/s320/waruga-sawangan.jpg

1.   
1. Punden berundak adalah bangunan yang tersusun bertingkat yang berfungsi untuk menyembah roh nenek moyang. Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit yang di Jawa Timur,

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcb2_JyiC1GXaXXB889iTrTf1F2s5hsD6OJwDgHsygXtCqTkCQN72vgGbiVeSmh5X5rI-s6WBDrmryzypHOM4LFZyxEzezbkFy029MpJ07ugYbY-OB-sPwycLIe-xtYS-NMughNAigCSqS/s1600/images+(1).jpg
1. Arca adalah patung yang berbentuk manusia atau binatang yang digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan monyet.

1.     
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTYfLon5-QGKBHyOI6c3S8wTbqCdRumWjiSZU2w6YY0dvhveLYXdcj13-RPl2_pC6RVaQ4UF85LdOUHq-e541mEF7oZSnX-GrH3shUJwnw8LFQbxuXjN_q9IDXzkit54freW-3cWvkEOIQ/s1600/images+(2).jpg



Pada zaman megalitikum mata pencaharian masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah dengan cara berburu dan meramu, setelah memasuki masa orde baru sekarang masyarakat tersebut sudah mulai memiliki mata pencaharian yaitu bercocok tanam. Jika dulu manusia di zaman ini disebut foodgathering yang artinya mengumpulkan makanan sendiri tetapi sekarang mereka sudah memasukin taraf foodproducing byang artinya sudah bisa menghasilkan makanan sendiri dengan cara bercocok tanam. Pada masa ini manusia mulai mengenal sumber alam dan mulai menguasainya, mereka mulai menanam tanaman dan juga berternak. Demi mendapatkan lahan untuk menanaman tanaman tersebut mereka harus membakar pepohonan yang ada di hutan, tanaman yang biasa mereka tanam adalah umbi-umbian. Jika lahan yang mereka tanami kondisinya kurang baik untuk digarap, maka mereka segera mencari lahan lain yang seridaknya dapat mereka garap dengan baik. Masyarakat megalitikum ini juga berternak hewan seperti kerbau, sapi, dan kuda.
Hidup yang serba ketergantungan kepada alam ini membuat cara hidup mereka bergotong-royong, dalam melakukan persembahan/penyembahan kepada arwah leluhur maupun kekuatan alam, masyarakat ini melakukannya secara bersama-sama. Biasanya yang memimpin upacara ini adalah masyarakat yang usianya paling tua atau di tuakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Pemimpin inilah yang mempunyai hak untuk menentukan kapan acara “sedekah bumi” dan upacara-upacara religius lainnya dilaksanakan. Pemimpin inilah yang juga dipercayai oleh masyarakat setempat dalam hal mengusir roh jahat, mengobati orang sakit, dan memberikan hukuman kepada warganya yang melanggar nilai atau hukum yang diberlakukan.
Masyarakat di zaman batu ini percaya kepada nenek moyang yang pertama kali mendirikan kampung tempat tinggal mereka. Untuk menghormati arwah para nenek moyang tersebut maka masyarakat mendirikan menhir yang berupa tiang atau tugu dan mereka juga memberikan sesajen untuk arwah nenek moyang mereka dengan cara membuat dolmen.
Disebut zaman batu besar karena di zaman ini menghasilkan benda peninggalan dalam bentuk monumental yang terbuat dari batu besar yang bahan dasarnya kasar. Kemudian peninggalan ini muncul pada akhir zaman Neolitikum tetapi berkembang pada zaman perunggu. Suku dayak dengan ras proto melayu dan bangsa deuteuro melayu (melayu muda) yang migrasi ke Indonesia dengan membawa kebudayaan dongson yang mempunyai keturunan Jawa, Bali, Bugis, Madur, dll. Telah ditemukan juga beberapa bukti bahwa telah terjadi pembaruan antara melayu monggoloide (proto melayu dengan deuteuro melayu) dan papua.
Manusia di zaman batu besar ini sudah dapat membuat dan menghasilkan kebudayaan yang terbuat dari batu besar, berkembang dari zaman Neolitikum sampai zaman Perunggu, dan kepercayaan utamanya adalah animisme. Seberanya kepercayaan animisme ini juga masih banyak di anut oleh masyarakat yang hidup di zaman modern ini, mungkin ini adalah salah satu pengaruh yang disebarkan oleh masyarakat di zaman megalitikum.
Di Indonesia ada beberapa etnik yang masih memiliki unsur-unsur batu besar yang dipertahankan hingga sekarang yaitu:
Pasemah
Pasemah terlekat di wilayah propinsi Sumatera Selatan yang terletak di kaki gunung Dempo. Peninggalan megalitikum di wilayh ini tersebar sebanyak 19 situs, bedasarkan penelirian yang dilakukan oleh Budi Wiyana (1996), dari balai Arkeologi Palembang, peninggalan megalitik di Pasemah mempunyai bentuk yang sangat unik, yaitu patung-patung yang dipahat begitu dinamis dan monumental, yang mencirikan kebebasan sang pemahat. Megalitik Pasemah adalah peninggalan tradisi budaya megalitik di daerah Pasemah (Sumatera Selatan). Megalitik di Pasemah muncul dengan bentuk yang unik, langka dan mempunyai unsur ke agungan yang berwujud dalam bentuk monumental. Simbol yang disampaikan oleh pemahat dan mempunyai pesa religius.
Nias
Dolmen adalah salah satu monumental yang digunakan untuk memperingati kematian seseorang di Nias (awal abd ke-20). Etnik Nias masih menerapkan beberapa elemen megalitik dalam kehidupannya, seperti lompat batu dan kubur batu yang sampai sekarang masih di perlihatkan. Batu besar juga digunakan sebagai tempat untuk memecahkan sebuah perselisihan.
Sumba
Etnik Sumba di Nusa Tenggara Timur juga masih kental dengan menerapkan beberapa elemen megalitik dalam kegiatan sehari-harinya. Kubur batu pun juga masih ditemukan di beberapa kampung di Sumba. Meja batu adalah salah satu benda yang digunakan sebagai tempat pertemuan adat.
Dengan adanya penemuan sejumlah bangunan-bangunan bersejarah di zaman megalitikum ini membuktikan bahwa rakyat Sunda kuno cukup religius. Sebelum adanya pengaruh Hindu dan Budha masuk ke Pulau Jawa, masyarakat Sunda telah mengenal beberapa kepercayaan seperti percaya kepada leluhur, benda-benda angkasa (matahari, bulan, pohon, sungaim dan lain-lain) dan juga kepada alam. Kemudian masyarakat ini dikenalkan dengan teknik bercocok tanam dan beternak dan hal ini membuat masyarakat setempat percaya dengan kekuatan alam.
Untuk mengungkapkan rasa bersyukur atas karunia yang telah diberikan oleh alam, mereka melakukan upacara ritual yang dipersembahkan untuk alam. Untuk itu, mereka percaya bahwa alam beserta isinya mempunyai kekuatan yang tak bisa dicapai oleh akal dan pikiran mereka. Untuk melaksanakan ritual atau upacara keagaman, masyarakat prasejarah berkumpul di komplek megalitik seperti punden berundak-undak, menhir, dolme, sarkofagus, dan lain-lain. Bagunan batu besar ini banyak sekali ditemukan di sepanjang wilayah Jawa Barat.
Berdasarkan penemuan-penemuan arkeologis diketahui bahwa peradaban megalitikum lebih banyak berkaitan dengan tradisi memuja roh dan arwah nenek moyang. Bangunan-bangunan tersebut seperti menhir, dolmen, sarkofagus, dan lain-lain adalah salah satu bentuk fisik kepercayaan animisme dan dinamisme pada zaman prasejarah.
Kepercayaan terhadap animisme ini berlangsung terus sampai sekarang dan mengalami proses evolusi yang sangat panjang. Dibeberapa suku bangsa di Indonesia kepercayaan tersebut masih ada walaupun dengan bentuk yang berbeda-beda. Uapacara tersebut biasanya dilakukan oleh sesorang yang memiliki keahlian khusus yang bisa menghubungkan dunia nyata dengan roh halus. Biasanya orang yang memiliki keahlian tersebut adalah seorang yang berprofesi sebagai dukun atau kuncen, bahkan banyak anggota masyarakat modern yang masih percaya dengan benda yang dimiliki oleh masing-masing personal seperti batu ali (cincin) yang diduga bisa membawa berkah dan zaman dulu mayoritas masyarakat setempat memiliki batu cincin tersebut, tak hanya zaman dahulu saja, sekarang pun yang zamannya modern masih ada orang yang percaya dengan benda-benda tersebut.
Pemujaan terhadap arwah nenek moyang dari tradisi megalitik yang dilatar belakangi oleh pendapat bahwa nenek moyang yang meninggal dari zaman megalitikum itu masih hidup tetapi di dunia arwah, nah arwah tersebut pun diyakini masyarakat setempat telah bersemayam di tempat-tempat tertentu yang dianggap suci seperti contoh gunung-gunung yang tinggi.
Dan hampir semua benda-benda dizaman megalitikum ini digunakan sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada arwah nenek moyang, baik dalam tradisi megalitik prasejarah maupun tradisi megalitik yang masih berlanjut, megalitikum muncul untuk digunakan masyarakat yang hidup pada masa tersebut sebagai alat peribadatan atau penguburan. Dan dari hasil penelusuran, telah diketahui bahwa peninggalan zaman megalitikum ini tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sakral/ banyak sekali peninggalan yang ada hubungannya dengan kebutuhan sehari-hari pun juga disebut sebagai peninggalam zaman megalitikum, contohnya ada batu tegak yang berfungsi sebagai batas perkampungan, lalu ada susunan batu-batu besar untuk persawahan, ada juga lumpang batu yang dipergunakan untuk menumbuk biji-bijian, dan lain-lain.


Comments

Popular Posts